Jumat, 04 Juni 2010

MALU (AKU) JADI ORANG INDONESIA

Karya : Taufiq Ismail
                     I
Ketika di pekalongan, SMA kelas tiga
Ke Wisconsin aku dapat beasiswa
Sembilan belas lima enam belas itulah tahunnya
Aku gembira jadi anak revolusi Indonesia

Negeriku baru enam tahun terhormat diakui dunia
Terasa hebat merebut kemerdekaan Belanda
Sahabatku sekelas, Thomas Stone namanya,
Whitefish Bay kampung asalnya
Kagum dia pada revolusi Indonesia

Dia mengarang tentang pertempuran Surabaya
Jelas Bung Tomo sebagai tokoh utam
Dan kecil – kecilan aku nara – sumbernya
Dadaku busung jadi anak Indonesia

Tom Stone akhirnya masuk West Point Academy
Dan mendapat Ph. D. dari Rice University
Dia sudah pensiun perwira tinggi dari U.S. Army
Dulu dadaku tegap bila aku berdiri
Mengapa sering benar aku merunduk kini.

                                II
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak – serak
Hujan tak tegak, doyong berderak – derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung dibelakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret dikepala
Malu aku jadi orang Indonesia

                                III
Di negeriku, selingkuh birokrasi peringkatnya di dunia nomor satu,

Dinegeriku, sekongkol bisnis dan birokrasi berterang – terang curang susah dicari tandingan,

Dinegeriku anak lelaki – anak perempuan, kemenakan, sepupu dan anak cucu dimanja kuasa ayah, paman dan kakek secara hancur – hancuran seujung kuku tak perlu malu.

Di negeriku komisi pembelian alat – alat berat, alat – alat ringan, senjata, pesawat tempur, kapal selam, kedele, terigu, peuyeum dipotong birokrasi lebih separuh masuk kantung jas safari,

Dikedutaan besar anak presiden, anak menteri, anak jenderal, anak sekjen dan anak dirjen dilayani seperti presiden, menteri, jenderal, sekjen dan dirjen sejati, agar orang tua mereka bersenang hati.

Dinegeriku perhitungan suara, pemilihan umum sangat – sangat – sangat – sangat – sangat jelas penipuan besar – besaran tanpa seujung rambut pun bersalah perasaan,

Dinegeriku khotbah, surat kabar, majalah, buku dan sandiwara yang opininya bersilang tak habis dan tak putus dilarang – larang,

Dinegeriku dibakar pasar pedagang jelata supaya berdiri pusat belanja modal raksasa,

Dinegeriku Udin dan Marsinah jadi syahid dan syahidah, ciumlah harum aroma mereka punya jenazah, sekarang saja sementara mereka kalah, kelak perencana dan pembunuh itu di dasar neraka oleh satpam akhirat akan di inka dan dilunyah lumat – lumat,

Di negeriku keputuan pengadilan secara agak rahasia dan tidak rahasia dapat ditawar dalam bentuk jual beli, kabarnya dengan sepotong SK suatu hari akan masuk bursa efek Jakarta secara resmi,

Dinegeriku rasa aman tak ada karena dua puluh pungutan, lima belas ini – itu tekanan dan sepuluh macam ancaman,

Dinegeriku telepon banyak disadap, mata – mata kelebihan kerja, fotokopi gossip dan fitnah bertebar disebar – sebar,

Dinegeriku sepakbola sudah naik tingkat jadi pertunjukkan terror penonton antar kota Cuma karena sebagian sangat kecil bangsa kita tak pernah bersedia menerima skor pertandingan yang disetujui bersama,

Dinegeriku rupanya sudah diputuskan kita tak terlibat piala dunia demi keamanan antar bangsa, lagi pula Piala dunia itu Cuma urusan negara – negara kecil karena Cina, India, Rusia, dan kita tak turut serta, sehingga cukuplah Indonesia jadi penonton lewat satelit saja,

Dinegeriku ada pembunuhan, penculikan, dan penyiksaan rakyat terang – terangan di Aceh, Tanjung Priuk, Lampung, Haur Koneng, Nipah, Santa Cruz, Irian dan Banyuwangi, ada pula pembantahan terang – terangan yang merupakan dusta terang – terangan di bawah cahaya surya terang – terangan, dan matahari tidak pernah dipanggil kepengadilan sebagai saksi terang – terangan,

Dinegeriku budi pekerti mulia kitab masih ada, tapi dalam kehidupan sehari – hari bagai jarum hilang menyelam di tumpukan jerami selepas menuai padi.

                                        IV
Langit akhlak rubuh, di atas negeriku berserak – serak
Hujan tak tegak, doyong berderak – derak
Berjalan aku di Roxas Boulevard, Geylang Road, Lebuh Tun Razak,
Berjalan aku di Sixth Avenue, Maydan Tahrir dan Ginza
Berjalan aku di Dam, Champs Elysees dan Mesopotamia
Di sela khalayak aku berlindung dibelakang hitam kacamata
Dan kubenamkan topi baret dikepala
Malu aku jadi orang Indonesia